Resensi oleh : Noviane Asmara
Judul : WUTHERING HEIGHTS: Pembalasan Dendam atas Nama Cinta
Penulis : Emily Brontë
Alih Bahasa : Lulu Wijaya
Tebal : 488 halaman, 20 cm
Harga : Rp 55,000
ISBN : 978-979-22-6278-9
Cover : Soft Cover
Genre : Sastra Klasik
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, April 2011
Cinta memang ajaib. Dapat dengan sekejap membuat bahagia dan tak selang berapa lama mengubahnya menjadi benci.
Bagaimana seseorang yang dulu begitu sangat mencintai orang yang dikira adalah belahan jiwanya tiba-tiba berubah menjadi sosok yang teramat mendendam.
Bagaimana seseorang kehilangan kekasih hati dengan menanggung kerinduan yang selalu menyiksanya dan menghantuinya hingga maut datang.
Dan semua itu karena Cinta.
Adalah Heatcliff, tanpa nama belakang dan tanpa asal usul yang jelas. Datang sebagai ‘oleh-oleh’ yang dibawa oleh Mr. Earnshaw dalam perjalanan pulang berbisnisnya dari London. Ia ditemukan terlantar di jalanan kota London. Dan akhirnya atas kebaikan hati ia diadopsi oleh Mr. Earnshaw, pemilik Wuthering Heights yang berumur singkat. Ia tumbuh bersama kedua anak Mr. Earnshaw. Catherine Earnshaw, seorang gadis muda bandel dan judes tetapi penuh gairah, yang mau menjadikan Heatcliff teman bermain. Dan Hindley ,anak lelaki Earnshaw yang tidak sudi menjadikan Heatcliff saudara angkatnya dan memusuhinya sepanjang hidupnya.
Sepeninggal Earnshaw tua, kehidupan Heatcliff di Heights mulai berubah. Hindley yang telah membencinya sejak dulu kini menjadi tuan rumah Heights dan memperlakukan Heatcliff begitu buruk bak seorang pelayan.
Kebencian demi kebencian tumbuh dengan cepat di Wuthering Heights. Seiring dengan perasaan cinta antara Heatcliff dan Chaterine pun kian berkembang. Heatcliff menginginkan Chaterine dan tidak berniat untuk kehilangannya, karena ia ingin selalu menjaga dan menjadikan Catherine belahan jiwanya. Cinta yang begitu egois dan posesif.
Perubahan sikap terjadi pada Cahterine, saat ia dan Heatcliff bermain dan tersesat di Thrushscross Grange―kediaman keluarga Linton. Rumah yang ditinggali oleh keluarga yang 180 derajat berbeda keluarga Earnshaw dari segi kebiasaan dan perilaku. Keluarga terhormat dan terpandang yang mengutamakan nilai-nilai sosial dalam lingkungan. Di sana Catherine bertemu dengan Edgar Linton, anak lelaki tampan, berkulit putih dan mempunyai rambut pirang yang kelak dipilih Catherine sebagai pasangan hidupnya.
“Aku mencintai tanah yang dipijak kakinya, dan udara di atas kepalanya, dan segala yang disentuhnya, dan setiap kata yang diucapkannya. Aku mencintai setiap penampilannya, dan setiap perbuatannya, dan dirinya seluruhnya dan sekaligus.” (hal.114)
Heatcliff pergi dan menghilang. Melarikan diri dari kenyataan bahwa dirinya tak layak dipilih oleh Catherine yang ia cintai sejak kecil, hanya karena perbedaan strata sosial. Dia merasa terkoyak antara kemarahan dan penghinaan yang ia derita karena cinta.
Tapi tiga tahun kemudian Heatcliff muncul kembali ke Gimmerton dengan berbalut pribadi yang berbeda. Seorang pria kaya dan berpendidikan. Dan yang terburuk, ia datang membawa selusin kebencian dan rencana pembalasan dendam yang tak terperi.
Kedatangannya mengubah kehidupan Catherine yang sudah tenang menjadi bergejolak kembali, akibat perasaan yang sama-sama mereka pendam untuk saling mencintai sekaligus menyakiti satu sama lain.
“Andai aku bisa terus memelukmu, sampai kita berdua mati! Aku takkan peduli dengan penderitaanmu. Kenapa kau tidak boleh menderita? Aku menderita! Apakah kau akan melupakanku? Apakah kau akan bahagia kalau aku sudah dikubur? Apakah kau akan berkata dua puluh tahun lagi, ‘itu makam Catherine Earnshaw'. Aku pernah mencintainya dahulu sekali, dan hatiku hancur saat kehilangan dia; tapi itu sudah berlalu.” (hal.229)
Pembalasan dendam bersemi akibat benci dan sakit hati yang telah mengakar kuat di hati Heatcliff yang kelam. Hati di mana rasa sayang telah mati dan tidak ada tempat untuk sebongkah empati.
Sebuah dendam yang akibatnya harus ditanggung oleh orang-orang yang tidak mengerti apa itu dendam, yang mengubah mereka menjadi iblis sesat layaknya Heatcliff si pembawa virus jahanam itu.
Pembalasan dendam yang harus ditebus dengan harga mahal sekali. Harga yang tidak akan pernah setara apabila semua nyawa tak berdosa dari keturunannya dicabut paksa.
Berlatar belakang dari dataran Yorkshire di abad ke-18 yang kasar dan liar, Wuthering Heights adalah kisah gairah kerinduan yang tak terkendali sekaligus upaya balas dendam yang melekat kental.
Membaca kisah ini jangan berharap akan menemukan akhir cerita yang bahagia. Cerita yang sejak halaman pertama dibuka sudah menyajikan alur yang mau tak mau memaksa kita untuk mulai ikut membenci setiap tokohnya yang egois dan tak berhati sekaligus memberi rasa iba dan sakit hati yang luar biasa dalam dan menyiksa.
Kelam dan suram, itulah kata yang pantas untuk menggambarkan novel yang terbit pertama kali tahun 1847 ini. Emosi kita seakan terkuras habis dan tak menyisakan sedikit pun air mata untuk sekedar berduka. Sesak napas yang melandaku saat membacanya semakin menambah aura suram yang terpancar dan sulit untuk memulihkannya. Terasa hidup dalam dunia abu-abu dan hitam tanpa segarispun putuh membentang di antaranya, di mana tawa dan bahagia adalah hal tersulit bahkan menjadi mustahil untuk dimiliki.
Walau begitu bintang lima tidaklah menjadi mustahil dan layak disandangkan untuk kekelaman cerita yang lahir dari buah pikir cemerlang seorang Emily Brontë di zamannya.
Emily Brontë (1818-1848) adalah anak kedua dari tiga bersaudari Brontë yang termasyur. Bersama saudara lelaki mereka, mereka tumbuh di desa Haworth di kawasan Yorkshire yang terpencil, tanpa pendidikan formal dan perhatian yang cukup. Peka, pemalu, dan amat tertutup, dan sama sekali tak sanggup menerima pendisiplinan apa pun, Emily Brontë menulis satu jilid puisi yang digubah dengan cermat. Dia mencurahkan pikiran-pikiran rahasia dari jiwanya yang tersiksa ke dalam Wuthering Heights (1847), buku yang mengangkat namanya menjadi tokoh besar dalam kesusastraan Inggris.
0 comments:
Post a Comment