PATER PAUL ARDNT SVD dalam buku ‘Demon dan Paji’ mencatat penuturan sejarah tanah ekan (dunia) dan lewotanah (kampung halaman) sejumlah wilayah adat Lamaholot. Satu hal yang dicatat adalah tentang Lagadoni. Sebagian wilayah adat Lamaholot mengaitkan nama itu dengan Lera Wulan (matahari-bulan: Tuhan di langit).
Lagadoni adalah nama lain dari Lera Wulan itu sendiri. Karena itu, Hasan Lewotan, salah seorang petutur sejarah yang mengaku keturunan Lagadoni dari Ile Napo Solor, mengatakan, kehadiran Lagadoni mendahului tanah ekan. Dia datang sebelum bumi ini ada.
Hasan Lewotan mengaku mendapat penuturan itu dari nuren-nedang (mimpi). Saat tanah tawa ekan gere (dunia menjadi) yang terjadi bersamaan dengan buta mete-walang mara (air bah mengering), Lagadoni hadir dan bermukim di Ile Napo. Kepercayaan ini dikuatkan dengan ungkapan: Raya Lagadoni Tuan Doni Dua Dayong, tobo rae Napo ebang, pae rae Napo baring. Di sanalah dia memperisteri perempuan ile jadi, Ema Peni Utan Lolon, Lolon Lepan Wuan Ehan.
Lagadoni seorang petualang. Dia berburu dan berdagang keliling ke semua wilayah Lamaholot. Menurut Hasan Lewotan, ke manapun dia pergi dan menyinggahi sebuah wilayah, maka dia pasti mananam nuba-nara-nya (nuba raya lagadoni, nara au nara bala). Karena itu, dia juga pasti meninggalkan sejarah di tempat itu. Tidaklah heran kalau nama Lagadoni kemudian dikenal luas di wilayah berkultur Lamaholot. Hasan Lewotan meyakinkan cerita ini dengan ungkapan: nae jadi naan wekan lewo, nae balik naan dewa tana (dia beranak pinak untuk dibagi ke semua kampung).
Cukup banyak suku atau kelompok masyarakat memiliki kenangan tersendiri tentang nama ini. Ada yang mengaitkan nama ini dengan kisah-kisah mistis yang berhubungan asal mula kehidupan di tanah Lamaholot, ada pula yang menyimpan kisah Lagadoni dalam kaitannya dengan ceritera kepahlawanan. Atau tentang seorang kabelen raya (penguasa) yang bijak bestari.
Lalu, siapa dan dari manakah nama Lagadoni yang kini melekat dalam diriku? Bagi suku Lamakei (Kabelen Kelen) di Pamakayo, kisah tentang Lagadoni justru merupakan kisah utama dalam cerita asal-usul (tutu maring usu-asa). Hal ini lantaran tokoh legendaris yang biasa disapa Raya Lagadoni—Tuan Doni Dua Dayong ini adalah leluhur pertama mereka. Menurut Aloysius Tome Kein—om kandung saya—Lagadoni adalah pendatang dari negeri seberang.
Ia mengisahkan, Lagadoni datang dari suatu tempat yang disebut Timu Matan Lera Gere. Secara harafiah, dapat diterjemahkan sebagai suatu negeri nun jauh di wilayah timur tempat terbitnya matahari. Lagadoni pergi meninggalkan kampung halamannya di Timu Matan Lera Gere karena ada peristiwa besar. Negeri di timur itu dilanda banjir bandang atau air bah yang dahsyat. Dalam ungkapan Tome Kein, ada peristiwa mae hae, belebo-lebo. Lagadoni datang bersama seorang saudaranya Pati Lanang. Dalam perjalanan itu, tempat pertama yang mereka singgahi adalah Ile Napo. Mereka tinggal sekitar wilayah yang sekarang dikenal dengan kampung lama Apelame.
Entah, berapa lama mereka mendiami kawasan Ile Napo. Setelah menanam nuba-nara, mereka lalu bergerak ke arah barat dan sampai di Nuhalolon (sekarang desa Nusadani) di tempat yang disebut Hu Lema Mayang—Mayang Lama Nole. Di sini mereka bertemu dengan Beang Korosani dan Me’ang Mata Laka. Pati Lanang memutuskan untuk menetap di tempat itu, sementara Lagadoni merasa belum saatnya untuk menetap. Dia kemudian melanjutkan pengembaraannya ke sejumlah daerah. Di antaranya ke wilayah Adonara, Ile Labalekan di Lembata, Tanjung Bunga, Demon Pagong, Ile Mandiri dan lain-lain.
”Waktu itu, di Larantuka, Pati Golo Arakiang sudah menjadi raja. Lagadoni pun berkunjung ke Larantuka dan bertemu dengan Raja Pati Golo Arakiang. Dia tinggal cukup lama di Larantuka. Bahkan sempat mendapat kepercayaan raja untuk menjalankan beberapa tugas penting,” tutur Tome Kein.
Salah satu tugas penting yang pernah dipercayakan pihak istana Raja Larantuka kepada Lagadoni adalah mendamaikan peperangan antara Igo dan Enga. Tugas itu dirasa sangat berat, karena itu Lagadoni kembali ke Pamakayo untuk mencari bala bantuan dari seorang pendekar yang disegani dari Suku Lewar, Senoda Waione. Senoda Waione bersedia pergi, tapi tidak bisa mendayung perahu. Lagadoni pun mencari orang yang tangkas mendayung perahu. Dia menemukan Koli Atadore dari suku Lamakoli yang sanggup menjalankan tugas tersebut.
Setelah berunding, Senoda Waione dan Koli Atadore merasa tugas tersebut terlalu berat bagi mereka berdua. Mereka ragu-ragu untuk berangkat. Tetapi Lagadoni memberi jaminan bahwa mereka tidak sendirian. Dia akan berangkat lebih dahulu dan menggunakan kemampuannya untuk membuat orang-orang yang sedang berperang menjadi bodoh.
Maka berangkatlah Lagadoni ke Larantuka untuk menjalankan misinya membuat para pihak yang sedang berperang menjadi bodoh. Kemudian Senoda Waione dan Koli Atadore pun menyusul. Ketika tiba di Larantuka, Senoda Waione masih sempat menggunakan kesaktiannya untuk menaklukan pihak-pihak yang sedang berperang.
Setelah perang usai, Senoda Waione dan Koli Atadore pun pamit pulang ke Pamakayo. Sebagai tanda terima kasih, Raja Larantuka memberi sebuah nuba. Keduanya pulang ke Pamakayo dan menyerahkan nuba itu kepada Lagadoni. Nuba itu ditanam di Wai Ainuba—sebelah timur Pamakayo. Tetapi nuba itu hilang ketika pemerintah membangun Rumah Sakit pertama di Pamakayo. Konon, yang memindahkan nuba itu dari tempatnya semula adalah kakek Lagadoni –nama yang kemudian turun ke dalam diri saya.
Lagadoni kemudian pergi ke Nuhalolong, di Hu Lema Mayang untuk menengok saudaranya Pati Lanang. Ternyata Pati Lanang dan anak cucunya sudah diusir oleh Bela (pembesar) Abong. Perlakuan Bela Abong membuat Lagadoni marah. Lagadoni kembali ke Pamakayo dan mengusir Kabelen Kelen Pamakayo, Raja Masanbali dan seluruh keluarganya.
Anton Lagadoni Kein, sepupu kandung saya, pernah menceritakan semboyan Lagadoni dalam berkelana menaklukan wilayah-wilayah: “goe Lagadoni, laga kiwan-laga watan, laga Demon-laga Paji. Doen goe beliwan, dahe goe atadiken. Tubak elen, bom betu.” (Saya Lagadoni, bertempur di gunung dan di pantai, di daerah Demon maupun di daerah Paji. Jauh saya musuh, dekat saya kawan dan saudara. Saya kebal terhadap senjata tajam maupun bom).
Setelah Raja Masanbali diusir, penguasa Pamakayo, Kabelen Bisu, meminta Lagadoni menjadi Kabelen Kelen di kampung tersebut. Dia bersedia tetapi dengan syarat merangkap sebagai Kabelen Kelen di Nuhalolong-Hu Lema Mayang, karena Pati Lanang dan anak-cucunya sudah diusir. Kabelen Bisu setuju dan mereka sepakat mengutus Beang dan Bala menjadi wakil Lagadoni sebagai Kabelen Kelen di Nuhalolong.
Belum lama menjadi Kabelen Kelen Pamakayo, Lagadoni memutuskan pergi bertapa di Ile Atadei. Dalam masa pertapaan, Raja Lagadoni Tuan Doni Dua Dayong bertemu dengan Raja Todoboli-Tuan Boli Buang Raya yang baru tiba dari Lio, Ende. Keduanya menjalin persahabatan dan keakraban sebagai saudara. Menurut cerita keturunan langsung Raja Todoboli, Sanga Kein di Nuhalolon, bahwa Raja Lagadoni bahkan menyerahkan beberapa pusaka (senjata andalan) kepada Raja Todoboli. Dengan senjata sakti itulah Raja Todoboli berhasil mengatasi musuh-musuh dalam sejumlah pertempuran yang dilaluinya.
Dalam pertapaannya, Raja Lagadoni juga sempat bertarung dengan Raja Balahari. Dalam perang tanding yang berlangsung selama satu bulan ini, Lagadoni dibantu tujuh ekor anjingnya, Hogoribu, Manuk Ani, Tuketana, Gerewolo, Miantake, Noongmian, dan Geringgo. Sebagai tanda takluk, Raja Balahari menyerahkan tanah seluas kurang lebih 500 hektare dan pusaka berupa kebe (benda yang mampu membuat pemiliknya kebal, tidak mempan terhadap berbagai jenis senjata) dan lodang (rantai emas yang menyerupai ular).
Lagadoni membawa kedua pusaka ini ke Pamakayo untuk di simpan anak-cucunya hingga kini –di rumah Bapak Tome Kein. Dia kembali lagi ke Atadei meneruskan tapanya yang sempat terhenti. Dia meninggal di Atadei. Setelah meninggal dia menjelma menjadi nuba-nara (tawa ne nuba-gere ne nara) yang muncul di pinggiran kampung lama (lewo oking) Pamakayo.
Kedatangan Raja Lagadoni ke Pamakayo dalam wujud nuba-nara ini, kata Bapak Tome, diketahui melalui mimpi seorang tetua adat suku Hayon Pamakayo, Lado Belolong. Dalam mimpi itu, Lagadoni minta agar wujud batunya dipindahkan ke dalam kampung. Seluruh warga beramai-ramai datang untuk memindahkan batu tersebut tetapi tidak berhasil. Karena tidak berhasil, warga Pamakayo pun menunggu petunjuk lagi. Akhirnya, petunjuk itu datang berupa mimpi. Lagadoni mengatakan, nuba itu hanya bisa diangkat jika pusaka berupa lodang dan kebe—pemberian Raja Balahari—dikalungkan di lehernya. Setelah lodang dan kebe dikalungkan, maka batu itu dengan sangat mudah dipindahkan ke tengah namang di kampung lama.
Bapak Tome mengatakan, dia dan saudara-saudaranya (Kein Kelen) adalah anak keturunan Lagadoni. ”Entah sudah berapa keturunan sampai ke Bapak saya Yoseph Lagadoni Kein. Saya tidak tahu pasti. Yang pasti, bapak kami Yoseph Lagadoni Kein dari isteri keduanya, Elisabeth Bare Lewar, melahirkan lima anak. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Salah satunya, Agnes Ipa Kein, ibu kandung No Yosni,” tuturnya mengakhiri kisah Lagadoni.
Dari garis keturunan ini pula lah darah itu mengalir dalam diriku…. (penulis yoseph lagadoni herin)
0 comments:
Post a Comment