Resensi : Noviane Asmara
Penulis : Louisa May Alcott
Penerjemah : Mutia Dharma
Penyunting : Ida Wajdi
ISBN : 978-979-024-463-4
Ukuran : 13 x 20,5 cm
Tebal : 453 Halaman
Harga : Rp 49,900
Cover : Soft Cover
Penerbit : Atria
Cetakan: I, Januari 2011
“Apa punggung bungkuk membuat orang menjadi baik hati? Kalau iya, aku mau juga.” Tanya Demi. [hal.28]
Lihatlah, betapa polosnya pertanyaan yang diajukan oleh seorang anak laki-laki yang bangga melihat temannya yang mempunyai hati yang baik, meskipun punggungnya yang bungkuk.
“Tuhan tidak peduli. Jiwaku tetap lurus meskipun punggungku tidak,” isak Dick pada anak yang menjahatinya. [hal.28]
Kata-kata di atas yang dilontarkan spontan oleh seorang bocah delapan tahun sebagai pembelaan atas hinaan terhadap dirinya yang tidak sempurna, langsung menohok hati saya dan membuat saya berkaca-kaca.
Dunia anak-anak adalah dunia yang sangat menyenangkan. Dunia di mana sejuta warna berada di dalamnya. Dunia yang memberikan kesenangan, keceriaan, kehangatan, kejahilan, pengetahuan dan masa bermain yang tak ada habisnya. Dunia ini bisa ditemukan di Sekolah Plumfield.
Plumfield awalnya merupakan sebuah rumah yang indah yang terletak di atas tanah yang luas. Rumah dan tanah itu diwariskan oleh Bibi March kepada Jo March yang sekarang telah menikah dengan Profesor Fritz Bhaer dan mempunyai dua orang anak.
Lewat tangan mereka berdualah sekolah yang diperuntukkan khusus untuk anak laki-laki yang kurang beruntung ini hadir. Dan dikenal dengan nama Sekolah Plumfield.
Kurikulum dan peraturan yang diberlakukan di sekolah ini berbeda dengan di sekolah lainnya. Di Sekolah Plumfield, setiap anak belajar sesuai dengan minat dan bakat mereka masing-masing, dengan tidak mengesampingkan hal yang paling utama; yaitu pelajaran budi pekerti. Belajar menjadi baik.
Ibu Bhaer dan Pak Bhaer tidak mengajar anak-anak dengan tangan besi. Mereka berdua mengajar dengan sabar dan penuh kasih kedua buah hatinya, Rob dan Teddy bersama kedua belas anak laki-laki, yaitu; Nat Blake, Franz―keponakan Pak Bhaer yang merupakan murid tertua, Demi Brooke―keponakan Bu Bhaer, Tommy Bangs si pembuat onar, George “Stuffy” Cole, Dick Brown si Punggung bungkuk, Dolly Pettiingill si anak gagap, Jack Ford, seorang anak yang cerdas dan lihai, Ned Barker yang mempunyai julukan “si Slebor” karena kakinya yang panjang dan sikap cerobohnya serta cara bicaranya yang kacau, Billy Ward yang meskipun telah berusia tiga belas tahun tetapi masih terlihat seperti enam tahun, Emil yang dibilang banci dan Dan si anak dingin yang ketus tapi menyayangi bayi.
Kesabaran Bu Bhaer dan Pak Bhaer tidak pernah habis dalam menghadapi polah nakal anak-anak mereka. Alih-alih menghukum mereka dengan pukulan bila melakukan kesalahan, sebaliknya, Pak Bhaer-lah yang dipukul oleh anak yang melakukan kesalahan. Hal ini justru membuat anak yang berbuat kesalahan menyesali perbuatannya dua kali lipat. Karena kesalahan merekalah Pak Bhaer harus dipukul oleh tangan mereka sendiri.
Itulah salah satu bentuk hukuman yang Pak Bhaer terapkan di Sekolah Plumfield itu untuk membuat anak-anak agar dapat berbuat baik. Selain itu kebebasan juga diberikan oleh Bu Bhaer pada anak-anak, yang memperbolehkan mereka melakukan perang bantal setiap Sabtu malam, mempunyai kebun sendiri dan boleh memelihara hewan peliharaan.
Sekolah Plumfield yang ditujukan anak laki-laki pun disemarakkan oleh adanya Daisy Brook, saudara kembaran Demi Brook, keponakan Bu Bhaer tercinta.
Daisy selalu bersikap menawan dan memesona, dengan semua sifat kewanitaan yang tumbuh dalam dirinya.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya Daisy pun tidak sendirian sebagai murid perempuan sampai hadirnya Annie Harding di sekolah tersebut. Nan, begitu anak-anak memanggilnya, merupakan anak perempuan yang bandel tetapi berotak encer.
Walaupun Bu Bhaer dan Pak Bhaer mengajar dan mengasuh anak-anak di sekolahnya dengan kesabaran yang tinggi dan rasa sayang yang tulus, tidak menjadikan Pak Bhaer lemah dan terus memaklumi setiap kenakalan dan kejahatan kecil yang dibuat oleh anak didiknya.
Pernah satu waktu Pak Bhaer harus bertindak tegas, dengan mengirimkan Dan seorang anak yang baru beberapa waktu tiba di Sekolah Plumfield dan merupakan teman Nat Blake ke Desa Pak Page. Desa. Keberadaan Dan di Plumfield hampir membahayakan jiwa-jiwa yang tinggal di sana, dengan timbulnya kebakaran.
Kenakalan Dan yang melibatkan Nat dan Tommy untuk merokok dan meminum bir serta bersumpah serapah dengan kata-kata kotor, berujung dengan sebuah kebakaran yang mengakibatkan separuh Plumfield terbakar juga Tommy dan Nat yang mengalami luka baker serius di tubuhnya.
Membaca buku ini sejak halaman awal, langsung membuat mata saya berkaca-kaca. Alcott pandai sekali dalam mendeskripsikan kesedihan dan keadaan yang anak-anak lekaki yang kurang beruntung itu dengan kata-kata yang begitu menyentuh. Kadang membuat saya tertawa kecil ketika membaca celotehan-celotehan dan pertanyaan-pertanyaan polos yang dilontarkan oleh anak-anak. Dan tawa lepas pun keluar dari mulut saya tatkala membaca bagian tentang kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh anak-anak lelaki itu, karena beberapa kenakalan yang mereka buat ada yang mirip dengan kenakalan yang saya buat ketika kecil dulu.
Little Men yang merupakan buku ketiga dari seri Little Women ini, wajib dibaca untuk para pecinta cerita klasik, terutama klasik anak.
Lewat kisah ini yang diperankan oleh Josephine March si Bu Bhaer dan suaminya, Alcott ingin menyampaikan pesan bahwa anak-anak adalah anugerah Tuhan yang dengan berjuta kenakalan―sifat alami mereka sebagai anak-anak, bisa dididik menjadi anak yang berbudi baik, disiplin, bertanggung jawab dan mempunyai rasa sayang yang besar terhadap sesamanya. Didikan yang lembut dan penuh kekeluargaanlah yang dibutuhkan oleh anak-anak. Bukan didikan kaku atau tangan besi yang melibatkan hukuman fisik yang akan berhasil baik alih-alih melahirkan dendam. Alcott juga menyampaikan indahnya ikatan yang terjalin dalam keluarga March. Walaupun masing-masing gadis March telah menikah dan mempunyai kesibukan masing-masing, tetapi mereka bersama keluarga kecilnya selalu terhubung satu dengan yang lainnya dalam berbagai kondisi. Mereka saling mendukung dan memuja. Dan akhirnya mereka jugalah yang menjadi panutan murid-murid Plumfield. Bukan saja terhadap ketiga mantan gadis March, tetapi juga terhadap ketiga suami para mantan gadis March itu.
Lihat saja komentar kekaguman salah satu murid Plumfield terhadap para pria perebut hati gadis-gadis March.
“Paman Fritz memang paling bijaksana, dan Paman Laurie paling menyenangkan, tapi Paman Jhon-lah yang ternbaik, dan aku inmgin jadi seperti dia daripada jadi pria lain yang pernah kutemui.” [hal.392]
Bila ingin belajar menangani anak yang nakal dan jahil, bisa mengikuti cara Pak Bhaer dan Bu Bhaer seperti yang tertulis di kisah Little Men ini. Mari belajar dan berguru pada pasangan Bhaer ini ^ _ ^
0 comments:
Post a Comment