Judul : ESPERANZA RISING
Resensi : Noviane Asmara Penulis : Pam Muñoz Ryan
Penerjemah: Maria M. Lubis
Penyunting: Jia Effendie
Penyunting: Jia Effendie
Penyelaras Aksara : Ida Wajdi
Pewajah Isi : Aniza
ISBN : 978-979-024-473-3
Ukuran : 13 x 20,5 cm
Tebal : 238 Halaman
Harga : Rp 38.000
Cover : Soft Cover
Penerbit : Atria
Penerbit : Atria
Cetakan: I, Maret 2011
“Kita semua bagaikan phoenix. Bangkit kembali, dengan kehidupan baru di hadapan kita”
Itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh Esperanza. Dalam kebeliaannya, dia harus menanggung beban hidup yang teramat berat.
Esperanza Ortega, anak semata wayang Sixto Ortega, pemilik perkebunan luas di Meksiko. Dia adalah pewaris tunggal perkebunan itu.
Sejak kecil, hidupnya sempurna. Penuh dengan keceriaan dan kehangatan. Dia dicintai oleh Ramona, sang Ibu yang cantik jelita dan ayah yang sangat memanjakannya. Dia pun selalu dilayani semua kebutuhannya oleh Hortensa yang telah mengasuhnya sejak dia masih bayi.
Kesempurnaan hidup yang telah dia jalani, tiba-tiba terhenti. Takdir telah mempecundanginya. Kehidupannya berubah menyedihkan, tepat satu hari sebelum ulang tahunnya yang ketiga belas. Ayah tercinta yang selalu mengajaknya ke perkebunan dan mengajarinya banyak hal, ditemukan tewas dibunuh oleh para bandit saat sedang bekerja memperbaiki pagar di tepi terjauh perkebunan.
Sungguh Ironis, hari di mana seharusnya menjadi hari yang paling bahagia bagi sang Mija, hari itu juga menjadi hari terkelam dalam hidupnya.
Selepas ayahnya meninggal, Esperanza dan Ibunya, hanya diwariskan rumah yang mereka tempati. Esperanza tidak bisa mendapatkan perkebunan yang telah menyatu dengan hidupnya, hanya karena dia seorang anak perempuan dan masih kecil. Akhirnya perkebunan luas pun harus jatuh ke tangan kakak tiri Ortega, Tio Lucas dan Tio marco, seorang bankir dan walikota yang licik dan culas.
“No hay rosa sin espinas. Tidak ada mawar yang tidak berduri.”
Tidak ada kehidupan tanpa kesulitan.
Itulah yang Abuelita, sang nenek katakan pada Esperanza. Dalam tiap satu langkah kehidupan, selalu dibarengi dengan satu kesulitan tetapi selalu disertai pula dengan satu kemudahan.
Tio Luis tidak puas hanya dengan memiliki perkebunan luas adiknya, dia pun berniat memperistri Ramona.
Hanya ada dua pilihan bagi Ramona. Menerima pinangan Tio Luis dan kembali menjadi Nyonya pemilik perkebunan tetapi terpisah dari Esperanza atau pergi berimigrasi ke Amerika Serikat bersama mantan pelayannya, Alonso dan Hortensa untuk bekerja sebagai buruh kasar tetapi masih bisa hidup bersama anaknya sang Mija, Esperanza terkasih.
Ramona akhirnya memutuskan untuk pergi ke Amerika Serikat secara diam-diam. Dia bersama Esperanza kini harus berjuang hidup sebagai rakyat jelata. Menjalani kehidupan sebagai orang miskin yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Ternyata, sang Dewi Fortuna masih enggan memberikan keberuntungannya pada Esperanza. Di tempat ia ditampung di perkebunan, ia harus melakukan beberapa pekerjaan kasar. Menjaga bayi, mencuci popok dan menyapu balai pertemuan. Belum lagi hinaan dan sarkasme yang harus ia terima dari orang-orang yang bersikap buruk padanya. Sementara sang Ibu harus membanting tulang tiap harinya, demi sen yang sangat diperlukannya.
Bertubi-tubi kemalangan terus mendera Esperanza. Saat Ibunya sakit keras dengan mengidap Demam Lembah, dia dipaksa oleh keadaan untuk bekerja lebih keras lagi, demi menyambung hidupnya dan pengobatan Ibunya.
Dia yang tumbang hari ini, mungkin bangkit esok hari.
Keadaan yang keras menempanya menjadi seorang pribadi yang kuat. Esperanza menjadi sosok yang pantang menyerah dan selalu optimis.
Dan dia bertekad untuk mengubah keadaannya dan mendapatkan kembali kesempurnaan hidupnya yang dulu pernah dia miliki.
Orang kaya akan lebih kaya jika dia jatuh miskin, daripada orang miskin yang menjadi kaya.
-Pepatah Meksiko
Buku yang bersetting Aguascalientes, Meksiko 1924 ini, masih kental dengan tatanan sosial yang tajam. Di mana sekelompok orang menguasai berekar-ekar tanah dan perkebunan, sementara sebagian besar lainnya, harus puas hanya dengan menjadi pelayan dan buruh rendahan yang tidak akan pernah bisa mendapatkan kehidupan yang layak. Jurang pemisah diantara dua kelompok itu begitu menganga lebar dan tidak akan pernah bisa dilewati.
Hal ini menimbulkan banyak pemberontakan efek dari kecemburuan sosial yang tumbuh dalam kehidupan masyarakatnya. Perampokkan merajalela, bandit-bandit tumbuh bak jamur setiap harinya.
Akibatnya, banyak warga Meksiko yang berimigrasi ke Amerika Serikat hanya untuk memperoleh peruntungan baru, dengan bekerja di perkebunan-perkebunan California dan Oklahoma.
Tetapi kemudian terjadi Repatriasi Meksiko tahun 1939. Pemerintah Federal Amerika menetapkan Aksi Deportasi, yang memberikan kekuasaan kepada daerah-daerah untuk mengirimkan banyak orang Meksiko kembali ke Meksiko.
Perjuangan panjang penuh pengorbanan dan air mata ini, dialami oleh Esperanza Ortega, nenek dari Pam Muños Ryan sang penulis.
Resensi ini dapat dilihat juga di www.buntelankata.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment