Ganesha kini sendirian. Patung Kala yang biasanya menemani di sebelahnya raib dicuri.
===========
Pergi ke situs-situs Purbakala kadang jadi pengisi waktu luang yang menyenangkan bagiku. Saat tiba di lokasi, aku sering membayang-bayangkan bagaimana situs purbakala yang kukunjungi itu bermakna di masa lalu. Aku juga membayangkan bagaimana orang-orang tempo dulu memperlakukan candi, misalnya, pastilah penuh rasa hormat karena di situ bersemayam dewa-dewi yang mereka hormati.
Kota Blitar yang sering kukunjungi, kaya akan situs purbakala. Sayangnya kalau pas ke Blitar, seringkali aku nggak sempat mengunjunginya karena aku ke Blitar dengan urusan yang lain.
Suamiku yang asal Kota Blitar pernah cerita, saat dia masih kecil, rumah di kampung-kampung di Blitar banyak memiliki batu-batu yang dia tengarai peninggalan-peninggalan kuno. Barang-barang kuno itu bahkan seringkali dianggap tidak punya nilai. Tetangganya, misalnya, pernah punya batu berwujud Ganesha dengan ukiran sangat halus. Tapi batu itu mungkin hanya dianggap batu karena diletakkan begitu saja di muka pagar rumah. Semua orang menganggapnya biasa saja. Sering dikorek-korek anak-anak bila bermain. Sering pula buat mengasah pisau. Diduduki pun tidak sekali dua kali. ”Kalau tujuh belasan, jalan-jalan di kampung dan pagar-pagar dicat. Batu Ganesha itu pun ikut dicat,” kenang suamiku.
Pernah suamiku bertanya pada tetangganya, pemilik batu Ganesha itu. Jawabnya, batu itu dimilikinya turun temurun. Nggak tahu asalnya dari mana. Kini batu Ganesha itu tak lagi berdiam di depan pagar rumah, entah di mana pemiliknya menaruh. Apakah membuangnya? Entahlah.
Suamiku lebih lanjut bercerita, dulu, di sungai-sungai di sekitar Blitar, tempat bermainnya saat kecil, banyak ditemukan batu serupa reruntuhan candi. Ada yang berukir halus segala. ”Aku masih ingat, dulu sering duduk di batu berukir. Mungkin itu batunya candi,” katanya.
Aku antusias mendengar dan ingin tahu apakah batu-batu itu masih ada di tempatnya. Hmmm, siapa tahu, suatu saat, kalau sudah nggak repot, aku bisa menelusuri kali-kali itu.
Dari yang kuketahui di referensi, di kota ini, misalnya, paling tidak ada 12 candi. Maksud hati sih pengen mengunjungi semuanya. Tapi apa daya belum sempat-sempat juga. Yang pernah aku kunjungi hanya dua. Candi Penataran dan Candi Simping. Candi Penataran terakhir kali kukunjungi mungkin lima tahun lalu. Kalau Candi Simping barusan kukunjungi pada 23 Agustus 2008 lalu. Setelah mengunjungi Candi Simping di Sumberjati, Kademangan, Blitar, aku juga mengunjungi patung Ganesha di Tuliskriyo, Sanankulon.
Candi Simping persis yang kuperkirakan. Cuma berupa puing-puing sebagaimana yang pernah kubaca. Aku berkunjung ke sana bersama suamiku sekitar pukul 09.00 WIB. Candi itu dikitari tanah pekarangan yang cukup luas. Tapi beda dengan candi Hindu pada umumnya, pintu Candi Simping tidak menghadap ke Barat, namun ke Selatan. Ternyata, dulunya candi ini menghadap Barat. Tapi sekarang, berbatasan dengan pekarangan orang sehingga candi tersebut dihadapkan di Selatan.
Sesungguhnya, museum nasional sudah memiliki desain konstruksi candi tersebut, sebelum jadi reruntuhan seperti sekarang. Kendati desain tersebut sudah ada, namun toh belum juga dipugar. Ada bagian terpenting dari candi itu yang kini ada di museum nasional.
Di lokasi patung Ganesha, aku melihat patung itu berdiri sendirian di bawah rindangnya pohon sawo yang waktu itu sedang berbuah lebat. Di sebelahnya sudah tak ada lagi patung Kala yang biasa menemaninya. Beberapa bulan lalu, patung Kala dicuri dari tempatnya, di samping Patung Ganesha. Pencurinya diperkirakan dua orang, menyamar akan bersemedi. Setelah diizinkan bersemedi, patung itu dicuri.
Kejadian demi kejadian sebagaimana di atas membuatku berpikir tentang makna kesejarahan. Berbagai kejadian mengisyaratkan, kita sedang tak ambil pusing dengan sejarah. Kita lupa kalau kita manusia, pasti memiliki nenek moyang. Nenek moyang kita memiliki kebanggaan.
Sejarah memang masa lalu. Tapi masa lalu bukan berarti tak berguna. Masa lalu adalah cermin kita untuk melangkah. Kaca benggala, menurut Salman Nurdin, sobatku yang telah tiada. Ya, sejarah itu untuk menapak jalan. Meluruskan jalan kita yang mungkin agak bengkok-bengkok dikit. Sejarah itu untuk berbenah.
Yang jadi pertanyaan buat diriku sendiri, seberapa jauh aku bisa menangkap makna dari sejarah hidupku? (Alpha Savitri)
sumber: halaman hijau Alpha Savitri
0 comments:
Post a Comment