Para peziarah yang berkunjung ke Gunung Kawi itu sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dengan sejarah orang yang dimakamkan di daerah atau di tempat itu. Namun demikian kenyataannya menunjukkan bahwa banyak peziarah yang datang ke daerah itu tidak mengenal siapalah sebenarnya yang dimakamkan di lereng Gunung Kawi itu. Mereka pada umumnya hanya tahu bahwa yang dimakamkan itu adalah Mbah Djoego dan R.M. Imam Soedjono, tetapi siapa sebenarnya mereka itu banyak yang tidak mengetahui.
Menurut sejarahnya, riwayat hidup Mbah Djoego yang nama aslinya adalah Kyai Zakaria II dapat ditelusuri berdasar surat keterangan yang dikeluarkan oleh pangageng Kantor Tepas Daerah dalem Kraton Yogyakarta Hadiningrat nomor 55/ TD/1964 yang ditanda tangani oleh Kanjeng Tumenggung Donoe- hadiningrat pada tanggal 23 Juni 1964.
Dalam surat itu, silsilah Kyai Zakaria II atau Mbah Djoego diterangkan sebagai berikut (RS. Soenyowodagdo, 1989 : 8). : Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I (Pangeran Puger) memerintah kraton Mataram pada tahun 1705 sampai 1719 berputera Bandono Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro. Pangeran ini mempunyai putera Kanjeng Kyai Zakaria I. Beliau adalah seorang ulama besar dilingkungan kraton Kartasura pada saat itu. Kemudian bangsawan ulama tenar tersebut berputera Raden Mas Soeryokoesoemo atau Raden Mas Soeryodiatmodjo. Nama terakhir ini semenjak masa mudanya sudah menunjukkan minat yang besar untuk mempelajari hal-hal di bidang keagamaan (Islam). Setelah dewasa, karena kemampuannya yang mumpuni dan ketekunannya dalam mempelajari hal- hal keagamaan atas perkenan Kanjeng Susuhunan Paku Buwana II, Raden Mas Soeryo Koesoemo mengubah namanya sesuai, “Pe- paring Dalem Asm o (pemberian nama oleh Susuhan), nunggak semi dengan ayahandanya, menjadi Kanjeng Kyai Zakaria II. Jadi, Raden Mas Soeryo Koesoemo atau Raden Mas Soeryodiatmodjo itulah Kanjeng Kyai Zakaria II.
Dalam kisah sejarah diceritakan bahwa dalam pengembaraannya ke daerah Jawa Timur Kyai Zakaria II berganti nama dengan nama rakyat biasa. Hal ini mungkin dimaksudkan (juga dikenal dalam kisah pewayangan apabila ada satria yang sedang mengembara biasanya juga berganti/mengganti namanya) agar identitasnya sebagai bangsawan kraton yang sudah terkenal itu, tidak diketahui oleh orang lain terutama oleh penjajah Belanda. Nama yang beliau pergunakan dan sangat populer hingga sekarang adalah “Mbah Sadjoego atau singkatnya Mbah Djoego. RS. Soeryowidag- do, 1989 : 9). Mengenai kisah pengembaraannya menurut sebuah sumber (Suwachman, dkk : 1993 : 42) dan telah menjadi ceritera yang memasyarakat sebagai berikut :
“Kyai Zakaria II dari Yogyakarta terus ke Sleman, Nganjuk, Bojonegoro, dan terakhir Blitar. Sampai di sini ia terkejut. Ternyata tempatnya berdekatan dengan Kadipaten di bawah kekuasaan Belanda. Kemudian ia minggir ke daerah Kesamben, sekitar 60 km dari kota Blitar. Kyai Zakaria II menetap di tepi sungai Brantas desa Sonan, Kecamatan Kesamben kabupaten Blitar. Di desa ini Kyai Zakaria II bertemu dengan Pak Tosiman. Ketika ditanya asal-usulnya, ia was-was jangan-jangan kehadirannya diketahui oleh Belanda. Maka ia menjawab secara diplomatis tanpa menyebut jati dirinya. “kulo niki sajugo ” (artinya saya sendirian). Menurut penangkapan Pak Tasiman yang salah pengertian dikira namanya “Pak Sayugo” yang kemudian dipanggilnya dengan pak Jogo. Akhirnya itu dibiarkan Kyai Zakaria II sehingga ia aman dari kejaran Belanda dan sejak itulah ia dikenal dengan nama Mbah Jugo.
Selanjutnya dikisahkan bahwa mbah Jugo makin lama makin terkenal, makin dihormati dan disegani oleh masyarakat karena kearifannya, kemampuannya di bidang ilmu agama, keampuhan ilmu yang dimilikinya dan juga pribadinya yang suka menolong sesama umat. Mengenai masalah ini ada suatu cerita yang menarik sebagai berikut : “Pada suatu ketika terjadi wabah penyakit hewan di desa Sonan pada tahun 1860. Masyarakat panik karena penguasa Belanda tidak mampu mengatasi. Akhirnya dengan keampuhan ilmu mbah Jugo* wabah penyakit tersebut berhasil disingkirkan dan masyarakat semakin hormat pada mbah Jugo. Namanya semakin kondang dan ia melayani berbagai konsultasi dari masyarakat. Dari soal jodoh, bertanaam, berternak, bahkan sampai soal dagang yang menguntungkan, semuanya dilayani dengan memuaskan”.
Sementara itu dalam kurun waktu selanjutnya pada tahun 1871 Raden Mas Iman Soedjono bersama-sama penduduk membuka hutan di daerah Gunung Kawi, Malang. Ia kemudian membuka padepokan di Wonosari. Pada tahun itu juga tepatnya 22 Januari 1871, Minggu Legi, malam Senin Pahing atau 1 Suro 1899 Mbah Jugo meninggal dunia di Kesamben Blitar. Sesuai wasiatnya, jenazah Mbah Jugo dimakamkan di lereng Gunung Kawi Wonosari, yang waktu itu sudah menjadi sebuah perkampungan. Sepeninggal mbah Jugo, padepokannya di Kesamben dirawat oleh Ki Tasiman, Ki Dawud dan lain-lain. Barang-barang peninggalan Mbah Jugo yang masih dapat kita saksikan yaitu berupa rumah Padepokan berikut masjid dan halamannya, juga, pusaka berben- tuk tombak, topi, alat-alat pertanian dan tiga buah guci tempat air minum yang dilengkapi dengan filter dari batu. Guci itu dinamakan “janjam” (guci ini oleh Raden Mas Iman Soedjono diboyong ke Gunung Kawi).
Mengenai silsilah Raden Mas Iman Soedjono tercatat dalam dokumen yakni dalam Surat Kekancingan (Surat Bukti Silsilah) dari Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat yang dimiliki oleh Raden Asni Nitirejo, cucu Raden Mas Iman Soedjono. Surat tersebut tertulis dalam huruf Jawa bernomor 4753, dikeluarkan tanggal 23 Juni 1964. Dalam surat tersebut diterangkan silsilah kelahiran Raden Mas Iman Soedjono sebagai berikut :
“Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono I, memerintah Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat sejak tahun 1755 – 1792. Pada waktu kecilnya bernama Bendara Raden Mas Soedjono. Dengan istrinya yang bernama Raden Ayu Doyo Amoro, berputera Bendara Pangeran Aryo Kanjeng Raden Ayu Tumenggung Notodipo (lihat buku silsilah Paguyuban Trah Balitaran, terbitan tahun 1933 dengan huruf Jawa).
Raden Mas Iman Soedjono kemudian menikah dengan salah seorang anggota laskar “Langen Kusumo”, Perajurit wanita dari laskar Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Ayu Saminah dan biasa dipanggil Nyi Djuwul. Pasangan ini kemudian dikaruniai seorang puteri yang cantik bernama Raden Ayu Demes. Setelah dewasa Raden Ayu Demes dikawinkan dengan pengikut terdekat dan terpercaya Raden Mas Iman Soedjono yang bernama Tarikun Karyoredjo, dari Tuban. Pernikahan ini menurunkan dua orang anak laki-laki yakni Raden Asin Nitiredjo dan raden Yahmin Wi- hardjo. Keduanya sejak tahun 1946 hingga sekarang menjadi juru kunci Pasarean Gunung Kawi. Akhirnya Raden Asin Nitiredjo menurunkan tiga orang anak yakni Raden Nganten Tarsini, Raden Soepodoyono dan Raden Soelardi Soeryowidagdo Sedang Raden Yahmin Wihardjo menurunkan seorang anak laki-laki bernama Raden Soepratikto (RS. Soeryowidagdo, 1989 : 9- 10).
Raden Mas Iman Soedjono meninggal dunia pada hari Selasa Wage malam Rabu Kliwon tanggal 12 Suro 1805 atau tanggal 8 Februari 1876. Jenazah Raden Mas Iman Soedjono dimakamkan dalam satu liang dengan Mbah Jugo. Hal ini dilakukan sesuai dengan wasiat mbah Jugo yang pernah menyatakan bahwa bilamana kelak keduanya telah wafat, meminta agar supaya dikuburkan- bersama dalam satu liang lahat. Mengapaa demikian? Hal ini rupanya mengandung maksud sebagai dua insan seperjuangan yang senasib sependeritaan, seazas dan satu tujuan dalam hidup, sehingga mereka selalu berkeinginan untuk tetap berdampingan sampai ke alam baqa. Di samping itu terdapat beberapa alasan yang mendasar keinginan itu, ialah :
- Keduanya adalah sejawat seperjuangan mulai dari titik awal dalam suasana duka maupun suka, semasa bersama-sama bergabung dalam laskar Diponegoro.
- Mbah Jugo tidak beristri apalagi berputra.
- Raden Mas Iman Soedjono sudah dinyatakan sebagai putera kinasih serta penerus kedudukan Mbah Jugo (RS. Soeryowidagdo, 1989 : 17).
0 comments:
Post a Comment