Pande yang dimaksud adalah keturunan (clan), soroh dari seseorang yang dahulu leluhurnya mempunyai propesi sebagai ”memande” apakah memande itu membuat alat dari logam berupa perunggu ( gong, alat-alat keagamaan dan lain-lain), berupa besi ( cangkul pisau tombak keris dan lain-lain), berupa emas perak ( perhiasan, alat-alat keagamaan dan lain-lain) semua dapat digolongkan dalam istilah anggtandring dan angaluh. Memande adalah suatu pekerjaan yang hasilnya sangat diperlukan oleh seluluh lapisan masyarakat. Memande dan berdagang memang sudah digeluti oleh para pande sejak dahulu (wawancara,28 maret 2011).
Dasarnya warga pande tinggal disuatu tempat degan berkelompok. Tetapi begitu ditempat baru ( Desa yang membutuhkannya) mereka memecah diri untuk mengisi pande ditempat beru tersebut tetapi ikatan kekerabatan/leluhur menyatukan kembali mereka dalam adat keagamaan terutama pada hari raya tumpek landep.
Untuk menelusuri lebih jauh asal usul warga pande dimasa lalau kita berpedoman pada pembuktian archeologi yang menyangkut alat-alat yang dipakai manusia di masa lalu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah zaman batu yang disebut zaman neolithicum berakhir maka selanjutnya timbut zaman logam. Jaman ini dicirikan ditemukannya saat itu suatu bahan dari dalam tanah bijih logam yang diproses sedemikian rupa lalu mengasilkan barang-barang atau alat-alat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Zaman logam dibagi menjadi tiga zaman yaitu zaman tembaga, zaman prunggu, zaman besi.
Pada zaman dahulu kaum pande diangap/digolongkan sebagai masyarakat tersendiri yang memiliki teknik dan kemampuan khusus sehinga banyak yang bergelar empu. Zaman dahulu hanya warga pande yang bisa membuat alat/barang dari logam sehinga keberadaan warga pande sezaman dengan mulainya zaman logam. Kapan zaman logam itu ada pada saat itulah ada kaum pande.
Menurut Dr. R Soekmono dalam bukunya yang berjudul ”sejarah kebudayaan Indonesia I ” menyatakan kebudayaan logam itu berasal dari luar Asia Tenggara. Berarti bila kaum pande memakai sistim keturunan purusa maka dapat dipastikan kaum warga pande berasal dari luar Asia Tenggara. Mereka berasal dari satu keluarga yang menemukan teknik pengolahan logam menjadi alat-alat keperluan manusia lalu seluruh keluarganya turun temurun menjadi pande. Kebudayaan logam di Indonesia memang termasuk satu golongan dengan kebudayaan logam Asia yang berpusat di Dongson.
Kaum pande yang berpropesi mengolah logam tersebut sebelum menyebar di bumi Nusantara. Mereka sebagain besar mereka bermukim di Dongson ( Teluk Tongkin) memande alat-alat yang bahannya dari perunggu maupun dari besi. Mereka bermukim di Dongson ini mulai kurang lebih 300 tahun SM. Jadi pande yang bermukim di Teluk Tongkin adalah cikal bakal pande yang datang kenusantara kemudian. Mereka berasal dari satu keluarga yang kemudian berkembang menjadi clan pande. Perpindahan mereka ke Nusantara adalah pada zaman perunggu ± 2500 tahun SM bersama dengan kelompok penduduk lain yang lebih besar.
Warga Pande Di Bali
Kedatangan para pande di Bali seiring kedatangan para penguasa yang datang dari seberang/luar pulau Bali. Sejarah menyatakan bahwa pada abad-abad VII-VIII M di Bali dikuasai oleh raja-raja dari dinasti Sanjaya dari kerajaan Mataram (Jawa Tengah). Tetapi jauh sebelum itu pengingalan-peningalan arkeologi membuktikan di pulau Bali dihuni oleh para pande yang hidup dalam masyarakat pada zaman itu (zaman Bali mula).
Pada zaman prasejarah di Bali masyarakat mengeal peti dari batu yang bernama sarkopagus yang digunakan untuk menyimpan mayat orang yang semasa hidupnya yang sangat berpengaruh. Ini membuktikan bahwa alat-alat yang dipakai untuk membuat sarkopagus tersebut adalah buatan para pande yang telah menghuni pulau bali pada zaman prasejarah yaitu pada zaman pra Hindu.
Desa Trunyan Kintamani sebagai desa tua yang keberadaanya diyakini paling tua di Bali telah hidup pada zaman megalitik yaitu jauh sebelum masehi dan juah sebelum kedatangan Hindu di Bali mereka memiliki kepercayaan bahwa Dewa tertinggi mereka bernama Ratu Sakti Pancering jagat juga disebut Da Tonta. Dewa ini bukan dewa dalam agama Hindu, beliau adalah leluhur/kawitan orang Desa Trunyan yang paling dimulikan. Di Pura tempat Da Tonta disemayamkan pada sebuah pelingih yang disebut Pura Dewa Pande. Rupaya pada zaman pra Hindu telah ada para pande di Desa Trunyan meskipun sekarang ini di Desa Trunyan tidak ada warga pandenya lagi (Nyoman Wista Darmada (pande Nongan) dan Made Gede Sutama (Pande Celuk), 1996: 17).
Sekitar awal abad VI Masehi telah datang ke Bali Rsi Markandea penyebar agama Hindu yang membawa sejumalah pekerja. Beliau juga membawa warga pande dari Jawa. Para warga pande yang dibawa oleh Rsi Markandeya kemudian bermukim disekirtar daerah Desa Taro. Sekitar Danau Batur, Danau Tamblingan dan Besakih ( zaman Bali Age). Kemudian pada abad VI Masehi datang lagi ke Bali salah seorang agama Hindu bernama Sri Agni Jaya Sakti salah seorang pengikut Sang Aji Saka. Beliau beraliran Brahmana dan kedatangannya ke Bali bersama-sama pendeta Siwa dan Budha.
Ajaran agama Hindu yang diajarkan oleh Sri Angi Jaya Sakti mengajarkan agama kepada masyarakat sekitar adalah agama Hindu yang beraliran Brahmana. Ajaran – ajaran beliau antara lain terntang:
a) Prihal membuat senjata yaitu tombak keris dan mantram-mantramnya
b) Prihal memilih baik buruknya senjata tombak dam keris yang disebut ”carcaning keris”.
c) Prihal pakaian perang serta mantram-mantramnya serta tulisan-tulisan yang diangap bertuah.
d) Prihal siasat perang.
Dari keempat ajaran tersebut diatas yang dibawa Sri Angi Jaya Sakti . ajaran pertama dan ke dua sangat berkaiatan dengan keahlian/propesi pande. Hanya pande yang memiliki mantram dalam pembuatan senjata dan hanya pande yang mengerti dan menghayati carcaning keris. Ajaran ketiga dan keempat sangat terkait dengan ajaran pertama dan kedua dimana dihendaki peningkatan persepsi tentang cara mempermainkan perang sebagai seorang prajurit atau pengatur siasat perang dari seorang pande. Tidak salah cerita orang terdahulu bahwa warga pande selau berada dimuka sebagai pemuka dalam peperangan karena dia tahu siasat menghayati arti pusaka degan segala isinya (pasupatii).`
Pande Bang
Pada zaman ini para pande yang datangnya bersama Sri Kesari Warmadewa berasal dari Indonesia berdiam berkelompok di empat tempat. Yaitu:
- kelompok pande yang berdiam di daerah Besakih dan sekitarnya.
- kelompok pande yang berdiam disekitar daerah Renon (badung) dan sekitarnya.
- kelompok pande yang mendiami pingiran Danau Tamblingan.
- kelompok pande yang tingal dipejeng.
Terpecahnya warga pande yang bermukim di Danau tamblingan karena pada saat itu Raja Sri Tapolung yang bergelar ”Bhatara Cri Asta Asura Ratna Bumi Banten” menyatakan dirinya tidak lagi tunduk kepada kekuasaan Raja Jawa ( Majapahit ). Sehingga raja majapahit menghukum atas sikapnya, Raja Majapahit Sri Hayam Wuruk mengirim pasukan untuk menyerang Bali. Sasaran utamanya adalah warga Pande yang ada di Danau Tamblingan karena diangap senjata-senjata penguasa Sri Tapolung berada di daerah ini. Penduduk lainnya yang berada dipingiran Danau Tamblingan ikut melahirkan diri dan kebanyakan dari mereka menyembuyikan diri ke hutan sebelah barat danau (daerah Gobleg).
Penguasa Bali kemudian setelah Sri Tapolung yaitu Dalem Semara Kepakisan (Dalem Ketut Ngulesir) yang memerintah Bali dari istananya di Gelgel merasa perlu untuk memanggil kembali para pande yang telah lari meningalkan danau Tamblingan agar kembali ke asalnya.
Demikianlah keadaan dari keempat kelompok pande Bang pada zaman Sri Kesari Warmadewa sampai zaman Pejeng. Keempat kelompok yang mengikuti Sri Kesari Warmadewa tersebut dinamakan pande bang termasuk didalam Pande Bangke Maong, alias Pande Tamblingan. Ada dolemik dalam masyarakat Bali setelah kehancuran kerajaan pejeng tentang nama Pande Bangke Maong. Julukan ini diberikan kepada kelompok pande yang kalah perang bahwa mereka mati nantinya mayatnya akan menjadi maong.
Demikian bencinya para penguasa baru kepada para pande sehinga nama Pande Bangke Maong menjadi momok/menakutkan bagi seluluh keluarga pande dan mereka menghindari dirinya disebut Pande Bangke maong. Penguasa akan membunuh pande yang benar-benar adalah keturunan Pande bangke Maong. Kemudian muncul semacam sanggahan halus dari para pande yang menyatakan bahwa pengucapan Pande Bangke Maong sebenarnya adalah Pande Bang Kemaong (pande bang saja).
Pande Pada Zaman Gelgel
Pada zaman Gelgel tersebut kedatangan warga pande ke Bali itu merupakan prajurit-prajurut dari majapahit yang bukan orang sembarangan seperti Empu Brahma Wisesa dan Empu Lelumang. Beliau orang-orang tersohor kesaktiannya serta mempunyai hubungan dekat dengan raja Majapahit. Dengan adanya ikatan kembali dengan raja Majapahit raja Dalem Semara Kepakisan saja Bali yang bertahta di Gelgel mulai mendapat simpati rakyat Bali agar tidak mengadakan pemberontakan dikemudian hari. Sebelumnya telah menjadi pemberontokan yaitu pemeberontakan Takawa tahun 1345 dan pemberontakan Makambika tauhun 1347( keduanya keluarga raja Pejeng). Sehinga mengambil keputusan oleh Dalem Semara Kepakisan sebagai berikut:
a) Pura Besakih dijadiakn Pura kerajaan pusat seluruh Bali.
b) Pura Dasar di Gelgel ditingkatkan statusnya menjadi Pura Kekerajaan yang sama statusnya dengan Pura Pusering Jagat pada zaman kerajaan Bedahulu.
c) Kaum Pasek Bendesa turunan Bali asli memegang kekuasaan di tiap-tiap daerah dan kahyangan menjadi pembesar atau tabeng puri
d) Kauam Pande (turunan Bali asli) yang mahir dalam pembuatan senjata menjadikan pembesar dan mengepalai alat-alat besi.
Para pande juga akan pindah ke tempat atau Desa baru yang belum ada pandenya. kadang-kadang atas kehendak mereka sendiri atau atas perintah penguasa. Demikian seterusnya sehinga akhirnya sukar bagai kita membedakan pertalian anatra pande-pande yang berbeda masa kedatangannya ke Bali.
Diceritakan dalam prasasti/babad bagaimana situasai kondisi pada saat pemerintahan Dalem Bekung semua penduduk kota kerajaan Gegel terpecah belah terutama keturuanan Majapahit. Akibat keikutsertaan para pande di Klungkung memberontak pada Raja akhirnya Pura Dalem Tusan ( Pura Pande yang dibuatkan Dalem Gelgel untuk Sentana Sire Tusan) lama tidak terurus, para pande tidak berani ngaturang piodalan karena situasi kerajaan yang sangat genting. Sewaktu-waktu para pande dapat terbunuh ketika akan ke Pura atau bisa sewaktu sehabis sembahyang.
Masalah warga pande ketika Ida Dalem berada dalam liputan Ida Sang Hyang Sengara (penasehatnya). pada saat itu juga Sire Pande seluruhnya baik, besar, kecil, tua, muda biar bayi sekalipun ikut dibunuh. Sunguh amat teragisnya tidak keprimanusiaan tetapi Tuhan tidaklah membiarkan umatnya dibegitukan, maka ada satu orang pande yang berada di bawah menguasaan Ida Sang Hyang Ibu yang disembunyikan Oleh Djangga Wadita di bawah air terjun ( bantang matiyem).
sumber
0 comments:
Post a Comment