Mbah Maridjan ditemukan wafat di kamar rumahnya dalam posisi sujud pukul 05.00 WIB, Rabu (27/10/2010). Ia terkena awan panas Gunung Merapi.
Simbah yang tampilannya bersahaja ini lahir tahun 1927 di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulhajo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Isterinya bernama Ponirah (73), anaknya 10 orang (lima di antaranya telah meninggal), cucunya 11 dan cicitnya 6.
Anak-anak Mbah Maridjan yang masih hidup bernama Panut Utomo (50), Sutrisno (45), Lestari (40), Sulastri (36), dan Widodo (30). Mereka yang ada memilih tinggal di Yogyakarta dan ada pula yang di Jakarta. Di antara anak-anak Mbah Maridjan, juga ada yang siap mewarisi tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi dan kini telah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Pada tahun 1970 Mbah Maridjan diangkat menjadi Abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dan oleh Sultan Hamengku Buwono IX diberi nama baru yaitu, Mas Penewu Suraksohargo1. Pada saat itu, sebagai abdi dalem, Mbah Maridjan diberi jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi.
Pada saat menjadi wakil juru kunci ini Mbah Maridjan sudah sering mewakili ayahnya untuk memimpin upacara ritual labuhan di puncak Gunung Merapi. Setelah ayahnya wafat, pada tanggal 3 Maret 1982, Mbah Maridjan diangkat menjadi juru kunci Gunung Merapi.
Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi lebih banyak melihat fenomena menggunakan naluri yang merujuk pada kebiasaan niteni. Keyakinannya tentang ancaman bahaya letusan Gunung Merapi yang hampir tidak pernah merambah Dukuh Kinahrejo memberikan pelajaran niteni bahwa lingkungan alam di sisi selatan Gunung Merapi masih merupakan benteng pertahanan bagi warganya.
Dalam kosmologi keraton Yogyakarta, dunia ini terdiri atas lima bagian. Bagian tengah yang dihuni manusia dengan keraton Yogyakarta sebagai pusatnya. Keempat bagian lain dihuni oleh makhluk halus. Raja bagian utara bermukin di Gunung Merapi, bagian timur di Gunung Semeru, bagian selatan di Lain Selatan, dan bagian barat di Sendang Ndlephi di Gunung Menoreh.
Sebagai seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan jabatan juru kunci, Mbah Maridjan juga menunjukkan nilai-nilai kesetiaan tinggi. Meskipun Gunung Merapi memuntahkan lava pijar dan awan panas yang membahayakan manusia, dia bersikukuh tidak mau mengungsi. Sikapnya yang terkesan mbalelo itu, semata-mata sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap tugas yang diamanatkan Ngarsa Dalem.
Menurutnya Gunung Merapi adalah pusatnya jagad di Tanah Jawa. Dia juga percaya Gunung Merapi adalah gunung yang “hidup” yang akan senantiasa bertambah dan berubah, sehingga jika memang Gunung Merapi meletus berarti gunung berapi yang paling aktif di dunia itu sedang “berubah” atau “bertambah”. Menghadapi situasi tersebut ia mengajak siapa saja memohon keselamatan kepada yang Maha kuasa agar terhindar dari bahaya. Permohonan itu ditempuh oleh Mbak Maridjan melalui laku tirakat (puasa mutih) dan doa-doa dengan cara berjalan mengelilingi Dukuh Kinahrejo tiga putaran setiap malam.
Beberapa hari sebelum Gunung Merapi meletus, sosok yang membintangi iklan suplemen minuman energi ini memang selalu menjauh dari hiruk pikuk duniawi. Ia lebih senang menyendiri dan beribadah sholat berjamaah bersama warga di sebuah surau dekat rumahnya.
Bahkan, ketika sejumlah wartawan menemuinya di kediamannya di Dusun Kinahrejo, tak banyak kata yang terucap dari mulutnya. Kondisi ini lalu ditafsirkan sebagai kepasrahan dirinya atas kehendah Allah Yang Maha Esa. Ia seolah ingin bersama Gunung Merapi meskipun ajal menjadi taruhannya.
Sikap inilah yang kemudian membuatnya keukeuh bertahan, meskipun sejumlah ahli meramalkan puncak Merapi akan meletus dan menumpahkan lahar panasnya dalam hitungan hari.
Kepanikan warga dan pemerintah yang mulai bergegas mengungsi dengan semakin meningkatnya status dan aktivitas Gunung Merapi, juga tak membuat Mbah Marijan ikut sibuk. Ia tetap tenang seolah Merapi tak tengah mengancamnya.
Aneh, kesan itulah yang muncul saat sang kuncen hilang dari keramaian pengungsi. Meski demikian keanehan seperti ini hal yang biasa bagi warga asli Yogyakarta yang sehari-hari mengenal dekat sosok Mbah Maridjan.
Bagi sang kuncen kepulan asap di puncak Merapi bukanlah sebagai ancaman. Kendati ia tetap meminta warganya untuk waspada. Namun, Mbah Maridjan selalu punya tafsir sendiri bila Merapi sudah biasa 'batuk-batuk' seperti saat ini. Letusan itu justru menandakan "penguasa Merapi sedang membangun".
Sebagai juru kunci Mbah Marijan bertugas menenangkan penguasa Merapi, Sapu Jagat. Itulah yang membuatnya menolak mentah-mentah perintah evakuasi yang dititahkan Sultan Hamengku Buwono X saat Merapi akan meletus tahun 2006.
Tokoh yang wajahnya muncul sebagai gambar t-shirt dengan tulisan ”Presiden Merapi” ini mengaku telah berinteraksi dengan Merapi sejak bayi, dan oleh karenanya ia mengerti betul isyarat Merapi (dan alam sekitarnya termasuk satwa, angin, temperatur dan cuaca) tentang kemungkinan meletus atau tidak.
Ada yang menyebut lelaki tua ini sangat sakti, memiliki ‘ilmu’ yang sangat tinggi sehingga puluhan tahun sudah mengemban tugas berat dari Sri Sultan untuk menjadi juru kunci Merapi. Bagi tokoh paranormal Permadi, kesaktian Mbah Maridjan mulai memudar ketika ia menerima tawaran menjadi objek bintang iklan minuman energi. Itulah sebabnya, kisah sukses sang kuncen menjaga Gunung Merapi pada tahun 2006 lalu akhirnya mengikis.
"Mbah Maridjan ingin mengulang mensukseskan Merapi tidak meletus. Namun, karena ia bersedia menjadi objek iklan, hal itu menurunkan spiritualitasnya," katanya.
Namun, terlepas dari semua itu, Mbah Maridjan hanyalah manusia biasa. Hanya saja kesetiaannya menjaga Merapi membuatnya harus tetap berada di tempat. Jika ketika Merapi sedang naik pitam, lalu Mbah Maridjan melaksanakan ibadah sholat maka ini dipahaminya sebagai cara menyelamatkan orang-orang dari amukan Merapi.
Kalau ia mengungsi, pengertiannya adalah kalah, menyerah tak mampu menjalankan tugasnya sebagai seorang prajurit yang diperintahkan menjaga Merapi. Namun, lagi-lagi keteguhannya harus dibayar mahal setelah nyawanya terhempas bersama debu vulkanik yang menyembur dari mulut Merapi. Ia akhirnya tewas saat memanjatkan doa bagi keselamatan warganya.
Alasan Mbah Maridjan Tak Ngungsi
Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi, lebih banyak melihat fenomena menggunakan naluri yang merujuk pada kebiasaan niteni (memerhatikan).
Keyakinannya tentang ancaman bahaya letusan Gunung Merapi yang hampir tidak pernah merambah Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, memberikan pelajaran niteni bahwa lingkungan alam di sisi selatan Gunung Merapi masih merupakan benteng pertahanan bagi warganya.
Dalam kosmologi keraton Yogyakarta, dunia ini terdiri atas lima bagian. Bagian tengah yang dihuni manusia dengan keraton Yogyakarta sebagai pusatnya. Keempat bagian lain dihuni oleh makhluk halus. Raja bagian utara bermukim di Gunung Merapi, bagian timur di Gunung Semeru, bagian selatan di Laut Selatan, dan bagian barat di Sendang Ndlephi di Gunung Menoreh.
Namun, jauh dari ungkapan-ungkapan itu, ada suatu keyakinan yang hidup di dalam masyarakat di sekitar Gunung Merapi bahwa gunung dengan segala macam isinya dan makhluk hidup yang mendiami wilayah ini menjadi suatu komunitas. Karena itu, ada hubungan saling menjaga dan saling melindungi.
Ketika salah satu anggota mengalami atau melakukan sesuatu, dia akan memberi "isyarat" kepada yang lain dan dia akan memberitahukan kepada yang lain. Demikian pula ketika Merapi "batuk-batuk", dia juga memberi isyarat kepada yang lain, termasuk kepada Mbah Maridjan.
Barangkali karena saat itu belum menerima isyarat, Mbah Maridjan berpendapat bahwa Merapi tidak akan melakukan sesuatu. Selanjutnya, Mbah Maridjan tidak mau diajak mengungsi (meninggalkan Gunung Merapi).
sumber: rimanews.com dan berbagai sumber lain
0 comments:
Post a Comment