Pro kontra dan diskusi-diskusi pakar tentang kemungkinan Indonesia adalah Peradaban Atlantis yang hilang terus mengemuka.
Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu, Profesor Arysio Santos, setelah melakukan penelitian selama 30 tahun terakhir, menyakini wilayah Atlantis adalah Indonesia dan bukunya sudah terbit dan bisa dinikmati dalam Bahasa Indonesia.
Klaim adanya piramida di bawah Gunung Lalakon dan Sadahurip Jawa Barat diungkapkan oleh Kelompok Turangga Seta. Sekitar awal Februari 2011, mereka mengajak para pakar geologi kawakan: Danny Hilman Natawidjaja, Eko Yulianto, dan Andang Bachtiar, melakukan uji geo listrik di Gunung Lalakon dan Gunung Sadahurip.
Salah satu anggota tim peneliti yang merupakan pakar geologi senior, Andang Bachtiar, sempat menyatakan bahwa hasil uji geolistrik yang mereka lakukan menemukan struktur yang tidak alamiah. "Selama ini saya tidak pernah menemukan struktur subsurface seperti ini. Ini unnatural (tidak alamiah - red)," katanya.
Dalam rangka menyingkap kabut misteri piramida ini, digelar diskusi panel oleh para ahli dan pemerhati geologi. Acara digelar Kamis (28/7/2011) di Universitas Paramadina, Jakarta.
Beberapa pembicara adalah Abdul Hadi (Guru Besar Universitas Paramadina), Effendi Ghazali, Radar Panca Dahana (Budayawan/ Pengajar Pasca Sarjana Filsafat-UI), Oman Abdurrahman (Badan Geologi-Kementerian ESDM) dan Okki Oktariadi (Badan Geologi-Kementerian ESDM).
Arysio Santos dengan teori Atlantis dan Stephen Oppenheimer dengan teori Sundaland, sama-sama berkesimpulan kalau Indonesia adalah awal peradaban dunia. Kini muncul spekulasi baru bahwa piramida gunung Lalakon di Bandung adalah bukti dua teori tersebut. Benarkah?
Ahmad Yanuana Sama dan Oman Abdurahman membuat hipotesa tersebut dalam buku Peradaban Atlantis Nusantara. Mereka mengumpulkan berbagai teori dari kitab suci, para ahli, hingga mengurai petunjuk dari temuan-temuan bersejarah, termasuk kemungkinan adanya piramida di Gunung Lalakon
Bandung.
"Dari sekian banyak bukti-bukti fisik yang mengindikasikan keberadaan Atlantis di Nusantara, yang paling menarik saat ini adalah dengan diketemukannya struktur batuan piramida di balik bukit Lalakon, kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung," tulis Ahmad dan Oman di halaman 485 buku tersebut.
Keduanya juga mengutip hasil tes di piramida tersebut yang membuktikan adanya batuan brojong di struktur piramida. Bebatuan itu terususun rapi dengan kemiringan 30 derajat setelah menggali tanah dengan kedalaman 1-4 meter.
Di buku tersebut, Ahmad dan Oman juga menambah teori dari Oppenheimer dan Santos dengan kajian dari sejarah filsafat Islam. Ilmu tersebut digunakan sebagai kajian disiplin ilmu dan kajian interdisipliner bidang kearifan dari sejarah nusantara.
Harapan keduanya lewat buku tersebut, ada upaya untuk meneliti kembali sejarah nasional, terutama pada era Nusantara kuno. Dengan demikian, perbaikan sendi-sendi kehidupan di Tanah Air pun dapat dilakukan.
"Terhindar dari keserakahan dan kerakusan egois pribadi, keluarga dan kelompok sendiri yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa," tulis keduanya di akhir buku.
Namun, apa yang ditulis oleh Ahmad dan Oman tidak serta mendapat pengakuan. Ada yang masih pesmistis dengan hipotesis ini.
Peneliti Geologi Kementeri ESDM Oki Oktraiodi yang hadir dalam peluncuran buku tersebut mengatakan, piramida tidak mungkin ada di Bandung. Sebab secara historis, bangsa Mesir membuat piramida untuk mengobati kerinduan mereka terhadap gunung. Bila itu terjadi di Bandung, dianggap tak masuk akal karena kota tersebut sejak dulu dikelilingi gunung.
"Kerinduan bangsa Mesir karena awalnya mereka berasal dari bangsa yang ada pegunungan. Sekarang saya tanya, Bandung itu terkenal dengan diriung ku gunung, jadi apa yang dirindukan. Tapi kalau saya salah, silakan dibuktikan dengan penelitian komprehensif," jelas Oki Universitas Paramadina, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (28/7/2011).
Budayawan Radar Pancadahana juga mengatakan, kesimpulan dalam buku tersebut masih sangat jauh dari kesahihan. Butuh banyak penelitian dan pembuktian ilmiah guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul.
"Tapi persoalannya kenapa kita ngumpul di sini untuk sesuatu yang setengah bohong. Karena kita memang hidup dalam dunia yang setengah riil, kenapa? Karena kita tidak kuat menghadapi realitas yang ada," sindirnya. (detik, vivanews, dan sumber-sumber lain)
0 comments:
Post a Comment