Zaman penjajahan Belanda memang susah. Pribumi yang dibolehkan sekolah cuma sedikit. Itu pun agar mereka dapat dipekerjakan sebagai pegawai negeri rendahan (clerk) demi kelancaran roda pemerintahan dan efisiensi. Bisa baca, tulis, dan berhitung sudah cukup. Nggak perlu sekolah tinggi-tinggi agar bisa dibohongi.
Sang tuan (pemerintah penjajah) sangat mengharapkan kesetiaan pribumi yang telah diberi kesempatan menikmati pendidikan modern dan dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah. Dalam perjalanannya, seperti kita ketahui dari sejarah, sebagian dari pribumi ini memang lebih setia kepada tuannya daripada kepada bangsanya sendiri, tetapi sebagian lagi justru tumbuh berkembang sebagai para pejuang yang menyadarkan bangsanya melawan penjajah untuk merdeka.
Meski telah merekrut tenaga lokal (pribumi) untuk dipekerjakan dalam pemerintahannya, pemerintah penjajah tetap memonitor mereka dan hasil pekerjaan mereka. Konon, untuk memudahkan monitoring itu, ada ciri-ciri khusus yang diajarkan pada pribumi sejak duduk di bangku sekolah, sehingga sang bos dengan mudah mengetahui siapa yang mengerjakan pekerjaan, apakah pegawai pribumi atau bukan.
Dalam menulis angka tujuh misalnya, pribumi menambahkan "sabuk atau garis" pada kaki angka tujuh. Padahal bila diperhatikan, "sabuk" tersebut tidak terdapat pada angka tujuh yang ada di mesin ketik, kalkulator, maupun komputer. Orang bule, orang India , maupun orang Timur Tengah dan di seluruh dunia juga tidak menambah sabuk pada angka tujuh mereka.
Ciri lain misalnya, pribumi dalam menuliskan angka ribuan ke atas akan menempatkan tanda baca "titik" mendahului "koma", padahal lazimnya koma mendahului "titik". Untuk jelasnya pribumi akan menuliskan sejuta rupiah lima puluh sen dengan Rp 1.000.000,50 yaitu dua titik mendahului koma. Orang bule atau internasional akan menulis sejuta dolar lima puluh sen dengan $ 1,000,000.50 yaitu koma dahulu baru titik. Para ahli sejarah dan bahasa mungkin mampu menjelaskan hal ihwal atau kebenaran atas fakta-fakta di atas. *
0 comments:
Post a Comment