Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai macam adat istiadat atau festival yang merupakan suatu bentuk penggambaran kebiasaan sehari -hari, tradisi, dan mitos yang berkembang di masyarakat.
Pada awal mulanya berbagai macam perayaan mempunyai sejarahnya tersendiri yang kemudian mengalami perubahan karena pengaruh dari berbagai agama di sekeliling masyarakat Tionghoa.
Salah satu perayaan terpenting yang dilaksanakan setiap awal tahun sebagai wujud syukur atas segala rahmat yang diberikan Tuhan adalah perayaan Imlek atau “Sintjia” .
Pada dasarnya kata Imlek merupakan penanggalan yang berdasarkan perhitungan bulan (lunar) yang berasal dari dialek Hokkian Selatan, sehingga dapat dikatakan tahun baru Imlek berarti tahun baru menurut penanggalan bulan.
Hal ini juga dapat dilihat dari setiap ucapan selamat tahun baru seperti guo nian hao (selamat menjalani tahun baru), gon he xin xi (hormat bahagia menyambut tahun baru), gong xi fa cai (hormat bahagai berlimpah rezeki).
Penanggalan Imlek pertama kali dimulai pada 2637 SM pada masa pemerintahan Kaisar Oet Tee atau Huang Ti (2698 - 2598 SM).
Pada awalnya penanggalan Imlek disebut He Lek yaitu penanggalan berdasarkan pada penanggalan Dinasti He atau Hsia (2205 - 1766) yang penetapan tahun barunya jatuh pada musim semi.
Hal ini berubah pada pemerintahan Dinasti Cou atau Chin (1122 - 255 SM) tahun barunya jatuh pada musim dingin. Nabi Khongcu melihat bahwa tahun baru menurut penanggalan Cou tidak sesuai keadaan rakyat yang kekurangan karena musim dingin yang panjang. Oleh karena itu dia menetapkan kembali penggunaan penanggalan He.
Pada pemerintahan Kaisar Han Bu Tee (140 - 86 SM) dari Dinasti Han, Konghucu ditetapkan sebagai agama negara dan penanggalan He resmi dipakai. Untuk tahun pertamanya dihitung dari tahun kelahiran nabi Khongcu (551 SM).
Menurut kisah legenda Tiongha, disalah satu desa di Cina terdapat seekor hewan buas Nian (raksasa) berbadan besar yang menyerupai singa pemakan manusia yang datang dari pegunungan.
Nian biasanya muncul di akhir tahun untuk memakan apa saja yang ditemuinya, termasuk hasil panen, ternak dan bahkan penduduk desa.
Pada hari kemunculan Nian, para penduduk menaruh makanan di depan pintu mereka pada setiap awal tahun untuk melindungi diri.
Mereka meyakini, dengan melakukan hal itu Nian akan memakan makanan yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil panen.
Pada suatu ketika, ada penduduk yang melihat Nian tidak berani mendekati anak kecil yang sedang bermain petasan dengan mengenakan baju merah, Nian tersebut ketakutan dan berlari menuju hutan.
Setelah itu, penduduk desa percaya bahwa Nian takut dengan warna merah. Sehingga mulai saat itu, setiap memasuki tahun baru maka penduduk akan menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu.
Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian. Tradisi tersebut kemudian berkembang menjadi moda perayaan Tahun Baru hingga sekarang.
Di Indonesia, pada masa pemerintah orde baru sejak 1968 hingga 1999, masyarakat keturunan Tiongha dilarang melakukan perayaan tahun baru Imlek di depan umum. Hal itu berdasarkan atas Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto, yang melarang segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk di antaranya tahun baru Imlek.
Namun, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, mendapatkan kebebasan untuk merayakan tahun baru Imlek, yaitu di mulai pada tahun 2000.
Presiden Abdurrahman Wahid secara resmi mencabut Inpres Nomor 14/1967. Dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).
Selanjutnya perayaan Imlek di Indonesia mengalami perubahan pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu Hari Libur Nasional, oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003 hingga saat ini.
sumber
0 comments:
Post a Comment