Dahulu kala hiduplah seorang tukang batu. Tiap hari ia pergi ke gunung dan memotong batu besar yang ada di sana. Ia sangat trampil. Ia tahu jenis batu yang dibutuhkan untuk berbagai keperluan. Karena hasil karyanya bagus, ia memiliki banyak pelanggan yang memesan berbagai peralatan dari batu.
Tukang batu itu hidup bahagia dan berkecukupan. Ia tak pernah menginginkan melebihi yang yang telah dimilikinya.
Di gunung itu tinggal roh yang kadang-kadang terlihat oleh orang-orang. Ia sering membantu orang menjadi kaya dan makmur. Tukang batu tidak pernah melihat roh itu dan tidak mempercayai cerita orang-orang tentang roh itu.
Pada suatu hari tukang batu mengantarkan pesanan ke rumah seorang kaya. Di dalam rumah orang kaya itu ia melihat banyak barang yang indah dan mewah yang tak pernah diimpikannya. Ketika pada suatu hari ia merasa lelah bekerja dan pekerjaannya dirasakannya kian berat, ia berkata pada dirinya sendiri, “Seandainya aku kaya raya, tempat tidurku empuk dan berlapis kain sutera, betapa bahagianya aku!”
Sebuah suara menjawab, “Keinginanmu dikabulkan, sekarang kau kaya raya!”
Tukang batu itu memandang ke sekelilingnya dan tidak melihat orang lain.
“Ah, cuma bayanganku saja,” katanya dalam hati.
Ia pun membenahi peralatannya dan pulang. Ketika tiba di rumah kecilnya, ia sangat terkejut karena rumahnya telah berubah menjadi gedung yang mewah, dengan perabotan yang sangat indah, terutama tempat tidur indah seperti yang diimpikannya. Ia sangat bahagia dan segera melupakan kehidupan lamanya.
Musim panas tiba. Matahari bersinar terik setiap hari. Pada suatu siang tukang batu merasa kepanasan, maka ia pun keluar rumah dan melihat-lihat jalan di depan rumahnya. Sebuah kereta mewah lewat, ditarik oleh para pelayan berpakaian seragam. Di dalam kereta itu duduk seorang pangeran, seorang pelayan membawa payung keemasan untuk melindungi pangeran dari terik matahari.
Tukang batu memandangi kereta hingga lenyap di kelokan jalan.
“Oh,” katanya dalam hati. “Andai saja aku seorang pangeran, naik kereta dan dipayungi dengan payung emas, langkap bahagianya!”
Tiba-tiba ia menjadi pangeran. Ia dikelilingi pelayan yang mengiringi keretanya dan memayunginya serta melayaninya. Namun ia kemudian menyadari, walaupun dilindungi payung, kulitnya makin hari makin cokelat hingga ia berteriak, “Matahari lebih lebat dariku, aku mau jadi matahari saja!”
Sekali lagi keinginannya terpenuhi, pangeran berubah menjadi matahari. Ia sangat bangga. Ia sekuat tenaga menyorotkan sinar ke bumi hingga rumput layu dan wajah orang-orang menjadi cokelat. Namun ia menjadi bosan dengan kekuatannya sendiri. Apalagi ketika awan menutupi wajahnya dan menghalangi sinarnya ke bumi. “Jadi awan itu lebih hebat dariku? Aku ingin jadi awan!”
Ia menangkap sinar matahari sehingga tidak dapat mencapai bumi. Rumput dan tumbuhan menjadi hijau dan segar. Ia mencurahkan hujan terus menerus hingga sungai meluap. Sawah-sawah tergenang dan tanaman padi terendam air. Namun ada satu yang tidak bergeming, yaitu batu besar di gunung.
“Oh, “ kata awan, “jadi batu itu lebih kuat dariku? Mengapa aku tidak menjadi batu saja?”
Tiba-tiba awan itu jatuh ke tanah dan berubah menjadi batu gunung yang besar. Ia sangat senang dan bangga. Sekarang ia yang paling hebat! Pada suatu hari ia mendengar bunyi ketukan berulang-ulang dan merasa kakinya tergelitik. Dilihatnya seorang tukang batu menancapkan pahat di kakinya dan mengetuk pahat itu dengan palu. Ia ketakutan melihat sebongkah batu besar jatuh dari kakinya. “Aduh, lama-lama tubuhku habis! Manusia ternyata lebih hebat dariku. Seandainya aku menjadi manusia.”
Seperti sebelumnya, roh gunung itu menjawab, “Keinginanmu dikabulkan. Jadilah kau manusia!”
Jadilah ia menjadi manusia kembali, menjadi tukang batu. Tempat tidurnya keras dan ia hanya memiliki makanan secukupnya, namun ia sudah puas. Tak pernah lagi ia menginginkan lebih dari yang dimilikinya atau menjadi sesuatu atau seseorang yang bukan dirinya. Ia bahagia dan tak pernah mendengar suara roh gunung lagi.
0 comments:
Post a Comment