foto: hurek.blogspot.com |
Laksamana Cheng Hoo alias Zheng He [1371-1435] memang pemimpin yang luar biasa. Laksamana asal Tiongkok yang berlayar keliling dunia pada 1405 ini bisa diterima di mana-mana. Namanya pun harum di Kota Surabaya.
Di kalangan umat Islam Tionghoa, nama Cheng Hoo diabadikan sebagai nama masjid di Jalan Gading 2 Surabaya. Masjid Cheng Hoo. Warga keturunan Tionghoa yang lain bikin sebuah kelenteng di Jalan Demak 380 Surabaya. Namanya Kelenteng Sam Poo Tay Djien.
Yang menarik, sejumlah masyarakat Jawa, agamanya macam-macam, juga secara rutin datang ke Kelenteng Sam Poo Tay Djien setiap malam Jumat Legi. Ada upacara tumpengan serta ritual khas Jawa. Dulu, sebelum krisis moneter, ada wayang kulit semalam suntuk di tempat ibadat Tridharma itu.
Artinya, Laksamana Cheng Hoo ini memang milik bersama umat Islam (Tionghoa), karena berjasa menyebarkan agama Islam di Nusantara, kemudian dihormati warga Tionghoa yang bukan Islam, serta juga dihargai orang Jawa. Luar biasa?
Nah, jejak pelayaran panjang Laksamana Cheng Hoo diabadikan di Kelenteng Sam Poo Tay Djien, yang oleh orang Surabaya lebih dikenal dengan sebutan Kelenteng Mbah Ratu. Percaya atau tidak, terserah. Yang jelas, para pengurus kelenteng di dekat Pelabuhan Tanjung Perak ini tak melupakan kisah tutur yang telah berusia enam abad itu.
Go Ka Bok, pengurus Kelenteng Mbah Ratu, menegaskan bahwa sejarah kelenteng ini terkait erat dengan ekspedisi Laksamana Cheng Hoo. Alkisah, sekitar 600 tahun lalu, ada sebuah kayu dengan panjang sembilan meter, diameter 40 sentimeter, terdampar di perairan Tanjung Perak Surabaya.
Warga sekitar berusaha menghanyutkan kayu itu ke laut. Namun, usaha mereka sia-sia. Kayu itu selalu kembali dan kembali lagi ke tepi pantai. Kejadian itu membuat warga meyakini kalau kayu itu bukan kayu biasa. Pastilah kayu ajaib! Maka, warga menyebutnya KAYU AJI.
Kayu aji itu kemudian dikurung di sebuah perempatan jalan, dekat Tanjung Perak. Tempat itu kemudian dikenal dengan sebutan Prapat Kurung. Menurut Ga Ka Bok, yang mendengar cerita ini secara turun-temurun, kayu tersebut diyakini sebagai salah satu puing kapal milik Laksamana Cheng Hoo.
Nah, di Prapat Kurung itulah dibangun sebuah kelenteng. Tempat untuk memuja sekaligus mengenang jasa-jasa Laksamana Cheng Hoo. Kelenteng alias kuil itu diberi nama Sam Poo Tay Djien. "Sam Poo Tay Djien itu merupakan nama lain Sam Poo Kong atau Laksamana Cheng Hoo," jelas Go Ka Bok.
Mengapa penduduk begitu menghargai Sam Poo Tay Djien? Tak lain dia seorang pelaut hebat. Laksamana yang dicari tandingannya. Cheng Hoo memimpin ratusan kapal, dengan 27.800 awak, yang berlayar dari Tiongkok ke Afrika hingga keliling Asia Tenggara sebanyak tujuh kali. Ekspedisi besar-besaran ini berlangsung selama 28 tahun [1405-1433].
Di Nusantara -- Indonesia belum ada, bahkan Belanda pun belum datang - rute perjalanan Cheng Hoo dimulai dari Tanjung Priok, Cirebon, Semarang, Tuban, Gresik, Surabaya, kemudian jalan kaki menuju pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan [Mojokerto sekarang].
Selama berada di Nusantara, Cheng Hoo mengajarkan aneka keterampilan, mulai dari pertanian, peternakan, pertukangan, perikanan, hingga ajaran Islam. Hal ini membuat penduduk sangat menghormatinya. Gelar MBAH RATU pun disandang Laksamana Cheng Hoo.
“Ada bukti dari legenda Laksamana Sam Poo Tay Djien di sini. Yakni, kayu aji dan jangkar kapal Laksamana Sam Poo Tay Djien. Semuanya masih tersimpan dengan baik,” tutur Go Ka Bok.
Dulu, ada miniatur kapal Cheng Hoo alias Sam Poo Tay Djien di kelenteng ini. Namun, ketika bangunan kelenteng direlokasi dari Prapat Kurung ke Jalan Demak 380, miniatur ini ditiadakan. Sebab, kapal tiruan itu terlalu besar dan makan tempat.
Selain Kelenteng Sam Poo Tay Djien di Surabaya, ada juga kelenteng serupa di Semarang. Sama-sama dibangun untuk menghormati Laksamana Cheng Hoo. “Menurut cerita, Laksamana Cheng Hoo pertama kali berlabuh di Semarang,” jelas Go Kak Bok yang berusia 76 tahun ini.
Kombinasi, sinkretisme, kolaborasi [atau apa pun namanya] tradisi Tionghoa dan Jawa terasa kental di Kelenteng Sam Poo Tay Djien alias Kelenteng Mbah Ratu. Ada altar dan patung-patung khas Tridharma, tapi ada juga tungku kecil untuk pembakaran dupa dan wadah untuk sesajen. Pada malam Jumat Legi, asap hio Tionghoa dan dupa Jawa berbaur menjadi satu.
Setiap tanggal 29 bulan 11 Imlek, jemaat kelenteng ini merayakan hari jadi Sam Poo Tay Djien alias Laksamana Cheng Hoo. Rata-rata 800 sampai seribu orang mengikuti perayaan ulang tahun sang laksamana kawakan dari Dinasti Ming itu.
Biasanya, kelenteng dihiasi pernak-pernik meriah dan sesaji untuk dewa. Tidak lupa batang tebu yang masih lengkap dengan daunnya. Ada juga mi sebagai simbol umur panjang dan telur sebagai simbol kesuburan.
“Tebu itu simbol agar kita selalu mengalami yang manis-manis, dapat rezeki, kesehatan, kebahagiaan,” jelas Go Ka Bok.
Kelenteng Sam Poo Tay Djien alias Kelenteng Mbah Ratu membuktikan bahwa akulturasi budaya Tionghoa, Islam, dan Kejawen [Jawa] sudah berlangsung sangat lama.
Sumber: hurek.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment